Scaling Databases: Horizontal vs Vertical Scaling Explained with Real Use Cases


Scaling Databases
                                                                Gambar: Resource Database, "Database", Unsplash


Pendahuluan

 Dalam dunia digital yang terus berkembang, kebutuhan akan sistem yang cepat, stabil, dan dapat menangani beban tinggi menjadi semakin krusial. Salah satu aspek penting yang mendukung performa sistem adalah arsitektur database. Seiring bertambahnya jumlah pengguna dan volume data, database harus mampu menyesuaikan skalanya — baik secara horizontal (menambah server) maupun vertikal (meningkatkan spesifikasi server).

Tapi apa sebenarnya perbedaan antara kedua pendekatan ini? Kapan kita harus memilih yang satu dibanding yang lain? Artikel ini akan membahas tuntas konsep Horizontal Scaling dan Vertical Scaling, dilengkapi dengan studi kasus nyata, kelebihan, kekurangan, serta tips memilih solusi terbaik untuk kebutuhan Anda.

Kenapa Topik “Scaling Database” Penting untuk Developer?

Di dunia aplikasi modern—mulai e-commerce, video streaming, hingga aplikasi mobile—saat pengguna tumbuh, database harus mampu menangani lonjakan beban. Tanpa strategi scaling yang tepat, performa melambat, downtime meningkat, hingga biaya membengkak. Memahami bedaan antara horizontal vs vertical scaling bukan hanya soal sisi teknis, tapi juga bisnis dan user experience.


Vertical Scaling: Menambah Tenaga pada Satu Mesin

Definisi

Vertical scaling berarti meningkatkan kapasitas server yang sudah ada. Ini bisa berupa:

  • Menambah RAM

  • Mengganti CPU dengan yang lebih cepat

  • Menambah SSD yang lebih cepat dan besar

Sistem tetap berjalan di satu mesin, namun dengan kemampuan lebih besar.

Kelebihan Vertical Scaling

  • Sederhana secara arsitektur: Tidak perlu mengubah logika aplikasi.

  • Cepat diimplementasikan: Cukup upgrade server melalui penyedia cloud atau fisik.

  • Cocok untuk sistem monolitik: Tidak membutuhkan replikasi data atau distribusi trafik.

Kekurangan Vertical Scaling

  • Batas fisik: Ada limit maksimal untuk peningkatan CPU atau RAM.

  • Downtime: Proses upgrade bisa menyebabkan sistem berhenti sementara.

  • Skalabilitas terbatas: Tidak cocok untuk skala perusahaan besar dengan jutaan request.

Contoh Kasus Vertical Scaling

Startup E-commerce yang Tumbuh Cepat

Sebuah startup e-commerce awalnya menggunakan server tunggal dengan PostgreSQL. Saat trafik meningkat selama masa promosi, mereka mengalami lambatnya query. Solusi jangka pendek yang mereka lakukan adalah menambah RAM dan SSD ke server database. Ini berhasil meningkatkan performa hingga 60%.

Namun, ketika pengguna terus bertambah, mereka mulai mempertimbangkan horizontal scaling sebagai strategi jangka panjang.


Horizontal Scaling: Menambah Server, Bukan Tenaga

Definisi

Horizontal scaling berarti menambah lebih banyak server (node) ke sistem. Setiap server dapat menangani sebagian beban, sehingga sistem menjadi lebih tangguh dan dapat diandalkan.

Biasanya diterapkan pada arsitektur:

  • Distributed Databases

  • Sharding

  • Clustered Databases seperti MongoDB, Cassandra, atau Vitess

Kelebihan Horizontal Scaling

  • Skalabilitas hampir tanpa batas: Tinggal tambah node untuk menangani lebih banyak data.

  • Redundansi & high availability: Jika satu node gagal, yang lain tetap bekerja.

  • Efisien untuk sistem global: Beban bisa dibagi berdasarkan wilayah geografis.

Kekurangan Horizontal Scaling

  • Kompleksitas tinggi: Membutuhkan arsitektur distributed system.

  • Replicasi data dan konsistensi: Masalah seperti eventual consistency perlu ditangani.

  • Biaya operasional meningkat: Perlu pengelolaan monitoring, balancing, dan failover.

Contoh Kasus Horizontal Scaling

Kasus 2: Platform Streaming Video Global

Perusahaan layanan streaming video menghadapi jutaan pengguna aktif secara bersamaan. Mereka menggunakan Cassandra sebagai database, lalu melakukan sharding berdasarkan lokasi geografis dan jenis data (metadata vs analytics).

Dengan horizontal scaling, mereka mampu:

  • Menangani lonjakan trafik saat jam tayang utama

  • Menjaga latency tetap rendah secara global

  • Menyediakan toleransi kegagalan dengan sistem cluster

Tabel Perbandingan: Horizontal vs Vertical Scaling

AspekVertical ScalingHorizontal Scaling
EksekusiUpgrade resource node tunggalTambah atau kurangi node cluster
KompleksitasRendahTinggi (memory sync, load balancer...)
DowntimeMungkinMinimal/0
Toleransi kerusakanRendah (jatuh semua data?)Tinggi (node lain masih jalan)
Batas skalabilitasTerbatas hardwareHampir tak terbatas
Biaya awalRendahLebih tinggi
Biaya jangka panjangKurang efisien setelah beban besarLebih cost-efficient

aerospike.com


Contoh Use Case dan Penerapan Nyata

Uber

Awalnya monolit di EC2 (vertical), lalu microservices & sharding region (horizontal) untuk handle trafiking global cloudzero.com+1nops.io+1.

Netflix

Combine vertical (node powerful) + horizontal (sharding, global regions) untuk video dan metadata delivery .

Figma

Mulai dari monolithic Postgres (vertical), kemudian read-replicas dan pertama kali sharding di RDS (horizon-scale) .

Tokopedia

Tokopedia mengadopsi sharding horizontal untuk membagi data pengguna, transaksi, dan produk. Mereka memanfaatkan kombinasi MySQL cluster dengan pendekatan asynchronous replication. Tim mereka juga menggunakan strategi read/write separation untuk efisiensi.

Airbnb

Airbnb beralih dari PostgreSQL tunggal ke arsitektur Vitess + MySQL cluster untuk melakukan horizontal scaling, terutama ketika aplikasi tumbuh ke skala global. Mereka menerapkan sharding otomatis dan autoscaling berbasis trafik.


Pendekatan Hybrid: Diagonal Scaling

Strategi diagonal: gabungkan vertical dan horizontal. Tambahkan resource ke node, lalu tambahkan node baru ketika limit tercapai. Arsitektur ini umum di perusahaan besar karena mengoptimalkan biaya dan performa .


Teknik Pintar di Horizontal Scaling

  • Sharding/Partitioning: bedakan tabel per key (region/user_id)

  • Replication: primary untuk write, replicas untuk read-heavy workloads mongodb.com+4scylladb.com+4en.wikipedia.org+4

  • Distributed SQL/NoSQL: Cassandra, DynamoDB, ScyllaDB, Spanner, CockroachDB


Teknologi dan Alat Pendukung Scaling

  • RDBMS vertical: MySQL, PostgreSQL, Amazon RDS mongodb.com

  • NoSQL horizontal: Cassandra, MongoDB, DynamoDB, Bigtable

  • Distributed SQL: CockroachDB, Spanner, Yugabyte scylladb.com


Kapan Memilih Vertical Scaling?

Gunakan vertical scaling bila:

  • Anda masih di tahap awal pengembangan.

  • Infrastruktur sederhana dan budget terbatas.

  • Trafik belum terlalu besar.

  • Tim DevOps belum siap menghadapi kompleksitas distribusi.

Contoh: Aplikasi SaaS skala kecil dengan database tunggal, seperti aplikasi absensi sekolah atau POS untuk UMKM.


Kapan Memilih Horizontal Scaling?

Gunakan horizontal scaling bila:

  • Trafik pengguna meningkat drastis.

  • Ingin merancang sistem toleran terhadap kegagalan.

  • Database menjadi bottleneck.

  • Perusahaan Anda sudah menggunakan cloud-native atau microservices.

Contoh: Platform marketplace, media sosial, atau game online multiplayer dengan jutaan pengguna aktif.


Alternatif dan Strategi Gabungan

Di dunia nyata, scaling database tidak selalu hitam dan putih. Banyak organisasi mengadopsi strategi gabungan seperti:

1. Read/Write Separation

Pisahkan query read dan write menggunakan replica database agar bisa didistribusikan ke node berbeda.

2. Sharding Dinamis

Pisahkan data berdasarkan user ID, lokasi, atau jenis data untuk disimpan di node berbeda.

3. Caching dengan Redis atau Memcached

Mengurangi beban query langsung ke database dengan menyimpan data sementara di memory cache.

4. Database-as-a-Service (DBaaS)

Gunakan layanan seperti Amazon RDS, Google Cloud Spanner, MongoDB Atlas yang menawarkan scaling otomatis.

Panduan Eksekusi: Skala yang Tepat di Waktu Tepat

  1. Mulai sederhana: gunakan vertical scaling jika trafik relatif stabil

  2. Monitor terus: gunakan monitoring tools untuk detect load & limit

  3. Scale-out gradual: tambahkan replica dulu sebelum full sharding

  4. Implementasi sharding matang: pilih key strategis, jangan asal bagi data

  5. Gunakan managed service: efisiensi di cloud, otomatisasi partisi & failover


Apakah Scaling Berdampak pada Keamanan?

Ya. Dalam horizontal scaling, Anda perlu mempertimbangkan:

  • Enkripsi antar-node untuk komunikasi data.

  • Kontrol akses granular per server.

  • Pemantauan konsistensi data dalam cluster yang besar.

Sementara itu, vertical scaling tidak banyak mengubah aspek keamanan, tapi tetap perlu update dan patching berkala.

Testimoni dari Engineer Lapangan

“Kami awalnya mengandalkan vertical scaling, tapi begitu mencapai batas RAM maksimum di server cloud kami, kami sadar harus berpindah ke arsitektur horizontal. Migrasi memang menantang, tapi hasilnya sangat worth it.”
— Andre, Lead Backend Engineer, Startup Fintech

“Horizontal scaling memberi kami fleksibilitas luar biasa untuk mengelola data log dan analytics yang terus bertambah setiap hari.”
— Sarah, DevOps Engineer, Platform IoT

Proses Migrasi dari Vertical ke Horizontal Scaling

Jika Anda memulai dengan vertical scaling, ada kemungkinan Anda perlu bermigrasi ke arsitektur horizontal saat sistem tumbuh. Berikut tahapan umum proses migrasinya:

1. Evaluasi Bottleneck

Lakukan audit performa untuk melihat:

  • Waktu query lambat

  • Server CPU usage selalu di atas 80%

  • Waktu response meningkat saat traffic tinggi

2. Desain Arsitektur Baru

Tentukan:

  • Apakah akan menggunakan sharding?

  • Skema distribusi data seperti apa?

  • Apakah perlu asynchronous replication atau consistent cluster?

3. Data Repartitioning

Gunakan strategi pembagian data:

  • Berdasarkan user ID

  • Berdasarkan wilayah geografi

  • Berdasarkan jenis data (write-heavy dan read-heavy)

4. Testing & Benchmarking

Uji coba skenario trafik tinggi dan failover simulation untuk memastikan sistem berjalan dengan baik.

5. Deployment Bertahap (Canary Deployment)

Luncurkan horizontal cluster secara bertahap sambil tetap menjaga sistem vertical yang lama hingga migrasi berhasil sepenuhnya.


Dampak Scaling terhadap Lingkungan Cloud

Di era modern, sebagian besar database berjalan di cloud platform. Strategi scaling Anda akan sangat dipengaruhi oleh penyedia layanan:

  • AWS Aurora mendukung auto-scaling dan replication lintas region.

  • Google Cloud Spanner menyediakan database relasional yang secara native terdistribusi dan dapat scale-out dengan mudah.

  • Azure Cosmos DB mendukung scaling global dengan model multi-master dan latency rendah.

Menggunakan layanan cloud juga berarti Anda dapat:

  • Menghemat biaya awal (tidak perlu beli server fisik)

  • Menikmati skalabilitas elastis berdasarkan kebutuhan trafik harian

  • Memanfaatkan monitoring built-in, seperti CloudWatch, Stackdriver, dsb.


Tren Masa Depan: Auto-Scaling & AI Optimization

Teknologi scaling terus berkembang. Ke depan, kita akan melihat:

1. Auto-scaling berbasis AI

Sistem dapat memprediksi lonjakan trafik dan melakukan scaling otomatis berdasarkan machine learning model. Ini sudah diterapkan oleh layanan seperti Dynatrace dan Datadog AIOps.

2. Serverless Database

Layanan seperti Amazon Aurora Serverless atau Google Cloud Firestore memungkinkan Anda menggunakan database tanpa mengatur server secara manual. Scaling dilakukan sepenuhnya otomatis, berdasarkan beban kerja real-time.

3. Observability yang Lebih Dalam

Dengan integrasi log, metrik, dan tracing yang lebih canggih, engineer bisa lebih proaktif dalam mendeteksi kebutuhan scaling sebelum terjadi masalah. 

Tantangan dalam Scaling Database

Meskipun scaling dapat meningkatkan performa dan reliability, tetap ada beberapa tantangan teknis dan operasional yang perlu diwaspadai:

1. Infrastruktur yang Kompleks

Terutama untuk horizontal scaling, Anda perlu menyiapkan:

  • Load balancer

  • Service discovery

  • Konsistensi data antar node

Semua ini menambah kompleksitas dan membutuhkan tim yang memiliki keahlian teknis yang cukup.

2. Isu Konsistensi Data

Dalam sistem terdistribusi (horizontal scaling), data tidak selalu real-time synchronized. Ini bisa menyebabkan:

  • Terjadi read skew

  • Anomali saat melakukan write-update di beberapa node

  • Masalah “eventual consistency” bila tidak ditangani dengan benar

Solusinya? Gunakan algoritma konsensus seperti Raft atau Paxos, atau manfaatkan database dengan arsitektur masterless seperti Cassandra.

3. Biaya Scaling yang Tidak Linear

Vertical scaling terlihat murah dan cepat di awal, tapi:

  • Harga server high-end sangat mahal

  • Risiko single point of failure tinggi

Horizontal scaling lebih scalable, tetapi:

  • Butuh konfigurasi dan monitoring lebih rumit

  • Biaya cloud storage, bandwidth, dan orchestrator meningkat signifikan

Maka, penting untuk membuat perhitungan ROI (Return on Investment) sebelum memutuskan strategi scaling jangka panjang.


Peran Tim DevOps dalam Scaling

Scaling bukan sekadar tugas tim backend engineer. Tim DevOps juga berperan besar dalam:

  1. Monitoring Real-Time

Menggunakan tools seperti:

  • Prometheus + Grafana

  • New Relic

  • Datadog

  1. Alert dan Incident Response

Menyiapkan notifikasi otomatis saat:

  • CPU di atas 90%

  • Query time meningkat drastis

  • Latency jaringan meningkat

  1. Automation & CI/CD

Proses scaling akan lebih efisien jika:

  • Proses provisioning server otomatis

  • Scaling bisa dilakukan via script (Terraform, Helm, dsb.)

  • Ada pipeline CI/CD yang menjaga stabilitas deployment


💡 Tips Memilih Strategi Scaling Berdasarkan Jenis Aplikasi

Berikut panduan praktis untuk memilih jenis scaling sesuai jenis aplikasi Anda:

Jenis AplikasiSaran Scaling
Blog pribadi atau portofolioVertical scaling cukup
E-commerce kecil (SKU < 100)Vertical dulu, lalu hybrid
Media sosial dengan jutaan penggunaHorizontal wajib, dengan sharding
Aplikasi video streamingHorizontal dengan focus pada caching
Aplikasi internal perusahaanVertical + backup harian
Dashboard analytics besarHorizontal + read replica

Skalabilitas adalah Investasi Masa Depan

Mengelola database agar mampu tumbuh seiring waktu bukan hanya soal teknologi — tetapi juga strategi, sumber daya manusia, dan perencanaan.

Ingat:

  • Vertical scaling cocok untuk start kecil, cepat, dan minim konfigurasi

  • Horizontal scaling wajib untuk sistem besar, kompleks, dan tahan lonjakan trafik

  • Hybrid scaling adalah solusi cerdas untuk pertumbuhan bertahap

  • Monitoring dan observability menjadi kunci keberhasilan jangka panjang

Dengan menerapkan prinsip scaling yang tepat, bisnis Anda akan lebih siap menghadapi masa depan yang penuh dengan pertumbuhan data dan ekspektasi pengguna yang terus meningkat.

Bangun Database yang Siap Tumbuh

Skalabilitas bukanlah fitur tambahan, tapi kebutuhan utama bagi sistem modern. Mulai dari tahap perencanaan, pastikan Anda sudah:

✅ Memilih arsitektur database yang sesuai
✅ Menyusun strategi scaling jangka pendek dan panjang
✅ Menggunakan tools yang mendukung observabilitas dan efisiensi
✅ Melatih tim DevOps untuk mengelola sistem terdistribusi

Baik melalui vertical scaling untuk solusi cepat atau horizontal scaling untuk jangka panjang, yang terpenting adalah membangun sistem database yang tangguh, adaptif, dan siap tumbuh.

Tidak ada solusi “satu untuk semua”. Pilihan antara vertical dan horizontal scaling harus didasarkan pada:

  • Skala aplikasi

  • Proyeksi pertumbuhan

  • Budget dan resource teknis

  • Kompleksitas data dan trafik

Yang paling penting adalah memiliki strategi scaling sejak dini, bukan setelah terjadi bottleneck.

Monitoring dan Otomatisasi: Kunci Sukses Scaling yang Stabil

Satu hal yang sering luput dari perhatian saat bicara soal scaling adalah monitoring dan automation. Banyak tim developer terlalu fokus pada strategi scaling-nya (mau horizontal atau vertical), tapi lupa memastikan bahwa sistem memiliki kemampuan untuk mengamati performa secara real-time dan mengambil tindakan otomatis bila diperlukan.

📈 Pentingnya Monitoring Real-Time

Dalam dunia nyata, beban database tidak selalu konstan. Ada jam sibuk, ada masa promosi, ada traffic lonjakan dadakan. Karena itu, monitoring yang presisi sangat penting. Gunakan tools seperti:

  • Prometheus + Grafana untuk melihat beban CPU, query time, I/O

  • CloudWatch (AWS), Stackdriver (GCP), atau Azure Monitor

  • New Relic, Datadog, atau Elastic APM untuk alert yang lebih advance

Dengan monitoring ini, kita bisa tahu kapan vertical scaling masih cukup, dan kapan horizontal scaling harus mulai dijalankan.

⚙️ Otomatisasi Scaling: Auto-Scaling dan Load Balancer

Di cloud, kita bisa memanfaatkan fitur seperti:

  • Auto-scaling group (ASG) di AWS

  • GCP instance group auto scaling

  • Kubernetes Horizontal Pod Autoscaler (HPA) untuk database containerized

Kombinasi auto-scaling dengan load balancer (seperti Nginx, HAProxy, atau cloud-native balancer) membuat distribusi beban berjalan otomatis dan efisien.

Contoh kasus: aplikasi marketplace dengan lonjakan traffic saat flash sale. Tanpa auto-scaling, kemungkinan besar database akan overload. Tapi dengan setup yang baik, node database baru bisa ditambahkan otomatis saat threshold CPU > 75% selama 5 menit.

💡 Intinya

Scaling yang sukses bukan hanya tentang menambah RAM atau jumlah node. Tapi juga tentang bagaimana sistem tahu kapan harus melakukan scaling dan bagaimana caranya. Di sinilah automation dan observability jadi tulang punggung yang tak boleh diabaikan oleh tim developer maupun DevOps.

Kesimpulan

  • Vertical scaling cocok untuk solusi cepat, sederhana, dan biaya awal rendah

  • Horizontal scaling memberikan skalabilitas tinggi dan fault tolerance, cocok untuk pertumbuhan ekstrem

  • Strategi hybrid (diagonal) memberikan fleksibilitas optimal

  • Saat ini banyak solusi cloud managed (GCP, AWS, Azure) mendukung keduanya untuk skenario nyata

  • Memahami strategi scaling database adalah bekal penting bagi developer, DBA, dan arsitek aplikasi modern



Comments

Popular posts from this blog

Mengintegrasikan Front-End dan Back-End dengan GraphQL

Dampak AI bagi Front-End dan Back-End Programmer: Ancaman atau Peluang?

Bahasa Pemrograman yang Wajib Dipelajari di 2025 dan Manfaatnya untuk Karier Anda