API Development Best Practices: REST vs GraphQL in 2025



RESTFUL API
Gambar: Mohammad Rahmani, "Coding", Unsplash 


Pendahuluan: API Masih Jadi Fondasi Utama

Di dunia software development yang makin kompleks, API (Application Programming Interface) tetap menjadi tulang punggung komunikasi antara aplikasi front-end dan back-end. Dari aplikasi mobile, sistem e-commerce, layanan streaming, hingga integrasi layanan pihak ketiga—API adalah jembatan yang menghubungkan semuanya.

Namun, seiring kebutuhan developer dan pengguna yang terus berkembang, muncul pertanyaan penting: haruskah kita tetap menggunakan REST atau beralih ke GraphQL?

Artikel ini akan membahas secara menyeluruh praktik terbaik pengembangan API di tahun 2025, perbandingan REST dan GraphQL dari berbagai sudut, serta insight nyata tentang kapan sebaiknya menggunakan masing-masing pendekatan.


Sekilas Tentang REST dan GraphQL

Apa Itu REST?

REST (Representational State Transfer) adalah arsitektur API berbasis HTTP yang sudah digunakan secara luas sejak awal 2000-an. Konsep dasarnya adalah:

  • Setiap resource (seperti /users, /products) diakses melalui URL

  • Operasi dilakukan dengan method standar: GET, POST, PUT, DELETE

  • Format umum respons: JSON atau XML

REST sangat cocok untuk sistem yang memiliki struktur data stabil dan dapat dipetakan ke dalam endpoint-endpoint tetap.

Apa Itu GraphQL?

GraphQL adalah query language untuk API yang dikembangkan oleh Facebook pada 2012 dan menjadi open-source sejak 2015. Berbeda dari REST, GraphQL memungkinkan client:

  • Meminta data secara spesifik, tidak lebih dan tidak kurang

  • Menggabungkan banyak resource dalam satu request

  • Memanfaatkan sistem schema dan type untuk validasi data

GraphQL memberikan fleksibilitas tinggi, khususnya untuk UI yang sering berubah atau memiliki kebutuhan data kompleks.


Perbandingan REST vs GraphQL di 2025

AspekRESTGraphQL
ArsitekturEndpoint berbasis resourceEndpoint tunggal (/graphql)
Pengambilan dataStatis (1 endpoint = 1 jenis data)Dinamis, sesuai query dari client
Efisiensi requestBisa over-fetch atau under-fetchHanya mengambil data yang diminta
DokumentasiSwagger/OpenAPIGraphQL schema sebagai dokumentasi
CachingLebih mudah dengan HTTP cacheLebih sulit, perlu custom caching
Error handlingBerdasarkan kode HTTPLewat objek errors di response JSON
Kurva belajarCenderung mudahButuh waktu untuk memahami schema
Kompatibilitas alatSangat luasSedang berkembang pesat

Best Practice API di Tahun 2025

1. Fokus pada Kebutuhan Konsumen API

Di era modern, API bukan hanya digunakan oleh satu front-end saja. Aplikasi bisa diakses lewat web, mobile, bahkan wearable dan IoT. Maka dari itu, API harus dibangun dengan prinsip consumer-first:

  • Dokumentasi yang mudah dibaca

  • Struktur response yang stabil

  • Versi API yang jelas

REST: cocok untuk layanan yang stabil dan digunakan banyak sistem
GraphQL: ideal untuk front-end yang dinamis dan memiliki banyak kebutuhan fleksibel

2. Versi API Itu Penting

REST secara konvensional menggunakan versi seperti /v1/products untuk menjaga backward compatibility. Sedangkan GraphQL umumnya melakukan versioning di level schema.

Tips:

  • Selalu dokumentasikan perubahan besar

  • Hindari breaking changes tanpa pemberitahuan

3. Validasi dan Error Handling Konsisten

REST API sebaiknya menggunakan kode status HTTP (200, 400, 401, 500) secara konsisten.
GraphQL lebih fleksibel, karena semua respons 200 OK tapi error dilaporkan dalam errors.

Solusi: Buat wrapper response agar lebih mudah ditangani di front-end


Kapan Harus Memilih REST?

REST masih relevan di 2025. Beberapa alasan menggunakan REST antara lain:

  • Integrasi dengan layanan pihak ketiga yang sudah standar

  • API public yang butuh dokumentasi terbuka seperti OpenAPI

  • Sistem legacy yang menggunakan arsitektur REST

REST juga lebih mudah di-cache menggunakan proxy server seperti Varnish atau CDN seperti Cloudflare.


Kapan Sebaiknya Gunakan GraphQL?

GraphQL sangat cocok untuk:

  • Aplikasi mobile yang butuh hemat data dan battery

  • UI yang sering berubah (misal e-commerce atau dashboard analytics)

  • Produk SaaS yang butuh fleksibilitas tinggi

Beberapa perusahaan besar seperti GitHub, Shopify, dan Pinterest telah mengadopsi GraphQL sebagai API utama mereka.


Studi Kasus: Startup Mengganti REST dengan GraphQL

Sebuah startup edtech mengganti API REST mereka dengan GraphQL karena mengalami:

  • Terlalu banyak endpoint REST untuk satu halaman dashboard

  • Banyak permintaan data yang tidak digunakan (over-fetching)

  • Kebutuhan personalisasi UI berdasarkan peran user

Setelah transisi:

  • Jumlah request dari front-end turun hingga 40%

  • Halaman dashboard tampil lebih cepat

  • Developer front-end lebih leluasa membangun UI dinamis


Integrasi REST dan GraphQL dalam Satu Sistem?

Jawabannya: BISA!

Banyak tim engineering saat ini memilih hybrid model:

  • Backend utama tetap REST untuk integrasi dan stabilitas

  • GraphQL gateway sebagai layer tambahan untuk UI/UX modern

Tools seperti Apollo Server, Hasura, atau BFF (Backend For Frontend) menjadi solusi populer di tahun 2025.


Tools Modern untuk API Development

Beberapa alat dan framework yang direkomendasikan:

Untuk REST:

  • Express.js + Swagger

  • FastAPI

  • NestJS (dengan OpenAPI module)

Untuk GraphQL:

  • Apollo Server / Client

  • GraphQL Codegen

  • Hasura (auto GraphQL dari database)

  • Prisma untuk schema dan ORM modern


Keamanan API REST vs GraphQL

REST API:

  • Wajib gunakan HTTPS

  • Gunakan OAuth2 atau JWT untuk autentikasi

  • Batasi rate dan IP

GraphQL:

  • Validasi query untuk menghindari introspection abuse

  • Batasi depth query untuk mencegah overuse resource

  • Terapkan cache layer agar server tidak overload


SEO dan Performa Website

Meskipun API tidak berhubungan langsung dengan SEO, performa API akan memengaruhi:

  • Kecepatan load halaman → pengaruh pada Core Web Vitals

  • UX konsisten → menurunkan bounce rate

  • Kemudahan pengembangan → memungkinkan iterasi produk yang cepat

Tips:

  • Gunakan SSG/SSR di Next.js atau Nuxt agar hasil API langsung dirender saat build

  • Manfaatkan CDN untuk API response caching (khusus REST)


Pagination: Mengatur Volume Data Besar

Saat API mengembalikan daftar panjang (seperti users atau products), pagination adalah kawan utama agar aplikasi tetap ringan dan cepat.

  • REST biasanya menggunakan strategi seperti limit/offset atau cursor-based (contoh: ?cursor=abc123&limit=20).

  • GraphQL memiliki pendekatan cursor pagination di schema (Relay-style), yang lebih cocok dengan data hierarchy:

    graphql
    query {
    products(first: 20, after: "XYZ") {
    edges {
    node { id name }
    cursor
    }
    pageInfo { hasNextPage }
    }
    }

Menambahkan metadata seperti totalCount, hasNextPage, serta parameter before dan after membuat pagination makin fleksibel. Pastikan paginasi logis dan dokumentasikan di schema atau OpenAPI.


Subscriptions & Real-time Updates

Di banyak aplikasi modern—seperti chat, dashboard live, atau e-commerce—dibutuhkan data secara real-time.

  • GraphQL Subscriptions adalah standar untuk mendukung WebSocket:

    graphql
    subscription {
    orderStatusChanged(orderId: 123) {
    status updatedAt
    }
    }

    Ini memungkinkan klien merespon perubahan langsung dari server.

  • REST pun bisa melayani real-time lewat WebHook atau SSE (Server-Sent Events), meski implementasinya sedikit lebih manual dibanding built-in Subscriptions di GraphQL.

Pastikan koneksi real-time aman dan tidak membocorkan data pribadi—gunakan autentikasi token atau cookie yang terenkripsi.


Versioning Level Lanjut

Masih soal versioning: REST biasanya pakai versi di URL (/v1/...), tetapi di GraphQL seringkali dilakukan inline di schema.

Beberapa teknik praktis:

  1. Tandai field deprecated lewat anotasi schema:

    graphql
    type User {
    name: String
    nickname: String @deprecated(reason: "Use displayName instead")
    displayName: String
    }

    Konsumen dapat peralihan bertahap.

  2. Use API gateway untuk route differ GraphQL versi lama dan versi baru (/graphql/v1, /graphql/v2).

  3. Di REST, versi header (Accept: application/vnd.myapp.v2+json) memungkinkan transisi tanpa breaking path URL.


Optimasi Performa dan Caching Pintar

Untuk API REST:

  • Terapkan Cache-Control, ETag, Last-Modified untuk memungkinkan cache browser atau CDN.

  • Gunakan HTTP/2 untuk kompresi header dan multiplexing.

Untuk GraphQL:

  • Query-level caching dengan tools seperti Apollo Cache atau Dataloader.

  • Snapshot response untuk query yang sering dipanggil atau static.

  • Gunakan persisted queries: client hanya mengirim ID query, bukan full body, sehingga lebih cepat dan aman.


Header Keamanan dan Throttling

APIs sering jadi target misused access. Terapkan:

  • Rate limiting (misalnya 100 requests/user/menit)

  • WAF untuk respon terhadap pattern abnormal (SQL injection, brute force)

  • Content Security Policy di client untuk melindungi API key

  • Gunakan X-Content-Type-Options: nosniff, X-Frame-Options, dan header lain supaya lebih aman.


Modularisasi API: Komponen Reusable & Clean Structure

Di 2025, developer semakin menyadari pentingnya membuat struktur API yang modular dan mudah dirawat, terutama untuk tim besar atau proyek jangka panjang. Baik pada REST maupun GraphQL, praktik modularisasi ini membantu menghindari duplikasi kode, menyederhanakan debugging, dan mempercepat pengembangan fitur baru.

Di REST, modularisasi bisa diterapkan dengan membuat router yang terpisah per resource. Contoh:

bash

routes/
├── user.js
├── product.js
└── order.js


js

// user.module.ts
export const UserModule = createModule({
id: 'user',
typeDefs,
resolvers,
providers: [UserService],
});

Setiap file hanya fokus pada satu entitas. Middleware juga bisa dibuat modular, misalnya autentikasi (auth.js), logging (logger.js), atau validasi request (validate.js).

Di GraphQL, pendekatan modularisasi dilakukan lewat schema stitching atau penggunaan tool seperti graphql-modules, yang memungkinkan tiap modul punya typeDefs, resolvers, dan context masing-masing.

Dengan modul seperti ini, kita bisa mengelola kompleksitas schema yang terus tumbuh secara terkendali.


Dokumentasi: Lebih dari Sekadar Swagger dan Playground

Dokumentasi API bukan cuma pelengkap—dia adalah panduan utama bagi developer, tester, bahkan tim non-teknis. Tanpa dokumentasi yang baik, API sehebat apa pun bisa jadi tak berguna.

REST API punya Swagger/OpenAPI sebagai standar dokumentasi. Di tahun 2025, best practice-nya adalah:

  • Gunakan deskripsi yang jelas untuk setiap endpoint dan parameter.

  • Tampilkan contoh request/response.

  • Tambahkan informasi validasi (minLength, required, enum, dsb).

  • Update dokumentasi otomatis dari source code (misal via swagger-jsdoc).

GraphQL API unggul karena schema-nya self-documenting. Tool seperti GraphQL Playground atau Apollo Studio memungkinkan tim melihat deskripsi tiap query, tipe data, argumen, dan response secara visual dan interaktif.

Namun, kamu tetap perlu menulis dokumentasi high-level yang menjelaskan:

  • Alur umum dari API

  • Role dari setiap query/mutation/subscription

  • Flow otorisasi & batasan akses

  • Studi kasus penggunaan nyata


Monitoring & Observability API

Mengembangkan API bukanlah pekerjaan sekali jadi. API perlu dimonitor secara aktif untuk memantau performa, error, dan kebutuhan scaling.

  • Gunakan tool seperti Postman Monitoring, New Relic, atau Datadog untuk REST API.

  • Untuk GraphQL, gunakan Apollo Engine, yang bisa mengukur waktu eksekusi tiap field, frekuensi query, serta error tracing.

Log juga penting—pastikan kamu mencatat request ID, user agent, response time, status code, dan error stack trace. Ini sangat membantu untuk investigasi bug atau insiden performa.

Testing API: Unit, Integration, hingga Contract

Pengujian API kini bukan lagi tambahan opsional, tapi bagian utama dari proses pengembangan yang berkualitas. Di tahun 2025, praktik pengujian API semakin matang dengan berbagai pendekatan yang saling melengkapi.

🔸 Unit Testing

Untuk REST API, kamu bisa menggunakan Jest, Mocha, atau Supertest untuk menguji endpoint secara isolatif. Misalnya, memastikan response status code 200 dan response body sesuai harapan saat API diberikan input valid.

Di sisi GraphQL, unit testing dilakukan dengan menguji resolver-nya secara langsung. Misalnya:

js
expect(await resolvers.Query.user(null, { id: '123' })).toEqual(mockUser)

🔸 Integration Testing

Testing ini menguji integrasi antara endpoint, database, dan logic di baliknya. Misalnya, kamu bisa menggunakan Postman/Newman untuk mengeksekusi skenario test dalam urutan tertentu, atau menjalankan testing dari end-to-end.

🔸 Contract Testing

Ini penting jika tim front-end dan back-end bekerja secara terpisah. Alat seperti Pact membantu memastikan bahwa struktur data yang dikirimkan antara dua pihak tetap konsisten seiring update sistem.


Error Handling & Status Code yang Jelas

Kesalahan pasti terjadi. Yang membedakan developer andal adalah bagaimana mereka menangani dan melaporkan error dengan jelas kepada pengguna maupun tim teknis.

Di REST API, penggunaan status code HTTP harus konsisten:

  • 200 OK → permintaan berhasil

  • 201 Created → data berhasil dibuat

  • 400 Bad Request → input tidak valid

  • 401 Unauthorized → token salah atau tidak ada

  • 403 Forbidden → akses ditolak

  • 500 Internal Server Error → error tak terduga

Response body sebaiknya memberikan struktur error yang jelas, misalnya:

json
{
"error": {
"code": "VALIDATION_ERROR",
"message": "Field 'email' tidak boleh kosong"
}
}


json
{
"errors": [
{
"message": "Unauthorized access",
"path": ["getUserProfile"]
}
],
"data": null
}

GraphQL agak berbeda, karena hanya punya satu endpoint (/graphql). Error ditampilkan sebagai bagian dari response:

Best practice-nya adalah menstandarkan pesan error dan memberikan informasi yang relevan namun tetap aman (tidak membocorkan detail sistem).


Rate Limiting, Throttling, dan Keamanan

API yang bisa diakses siapa saja juga rentan terhadap penyalahgunaan. Untuk mencegah DDoS, abuse, atau scraping berlebihan, ada beberapa langkah proteksi yang wajib diterapkan:

Rate Limiting

Batasi jumlah permintaan per IP, per token, atau per user dalam periode waktu tertentu. Library seperti express-rate-limit bisa digunakan untuk REST, sedangkan di GraphQL bisa diintegrasikan lewat middleware Apollo.

Contoh aturan:

  • 100 request/menit untuk user biasa

  • 1000 request/menit untuk API partner

Throttling & Circuit Breaker

Throttle berguna agar server tidak kewalahan jika traffic mendadak tinggi. Circuit breaker akan memutus sementara endpoint jika terjadi error berturut-turut, memberi waktu sistem untuk recovery.

Validasi Input & Sanitasi

Hindari SQL Injection, XSS, dan eksploitasi lainnya dengan validasi ketat terhadap input user. Gunakan library seperti Joi, Zod, atau middleware khusus sanitasi.


Versi API & Backward Compatibility

Saat API bertumbuh, perubahan tak bisa dihindari. Di REST, versi biasanya dikelola lewat URL:

bash
GET /api/v1/products
bash
Accept: application/vnd.myapi.v2+json

Atau lewat header:

GraphQL lebih rumit karena semua query ada di satu endpoint. Solusinya:

  • Gunakan field deprecation: tambahkan @deprecated di schema

  • Tambahkan field baru tanpa menghapus field lama

  • Edukasi developer tentang perubahan lewat changelog dan dokumentasi

Dengan pendekatan yang hati-hati, API kamu bisa berkembang tanpa mematahkan integrasi yang sudah ada.

Caching: Kunci Performa API Modern

Caching adalah salah satu praktik terbaik dalam pengembangan API modern, apalagi ketika skala aplikasi sudah besar dan jumlah permintaan sangat tinggi. Baik REST maupun GraphQL memiliki pendekatannya masing-masing dalam hal caching.

REST API Caching

REST secara alami lebih mudah di-cache karena mengikuti prinsip HTTP standar. Dengan memanfaatkan cache control headers seperti ETag, Cache-Control, atau Last-Modified, API dapat mengurangi beban server dengan memberikan data yang sudah pernah diminta sebelumnya.

Contoh penggunaan header:

arduino

Cache-Control: public, max-age=3600

Ini akan menginstruksikan browser atau CDN untuk menyimpan respons selama satu jam.

GraphQL dan Tantangan Caching

GraphQL lebih kompleks karena semua permintaan dilakukan ke satu endpoint (/graphql) dan query-nya dinamis. Oleh karena itu, caching di GraphQL sering dilakukan di level resolvers, dengan teknik seperti:

  • Apollo Server Cache: menggunakan in-memory cache atau Redis

  • Query persistence: mengubah query dinamis menjadi query yang bisa dikenali sistem caching

  • Response normalization: memecah respons GraphQL menjadi struktur data yang bisa di-cache sebagian

Dengan strategi caching yang tepat, performa aplikasi bisa meningkat drastis tanpa harus mengorbankan fleksibilitas dan personalisasi data.

Kesimpulan: Tidak Ada Jawaban Tunggal

Di tahun 2025, tidak ada satu pendekatan API yang cocok untuk semua. Yang penting adalah memahami kebutuhan proyek, tim, dan pengguna.

Jika kamu butuh API stabil, terintegrasi dengan banyak sistem, dan mudah didokumentasikan, maka REST adalah pilihan tepat.
Jika kamu ingin UI cepat, fleksibel, dan mudah dikustomisasi, GraphQL bisa jadi penyelamat.

Yang terbaik? Gabungkan keduanya jika perlu. Bangun REST untuk kebutuhan sistem, dan bungkus dengan GraphQL sebagai lapisan data client-friendly.


Yuk, baca sekarang:
https://www.higosense.my.id/2025/04/mengintegrasikan-front-end-dan-back-end.html
https://www.higosense.my.id/2025/03/tools-backend-terbaik-untuk-membangun.html

Comments

Popular posts from this blog

Mengintegrasikan Front-End dan Back-End dengan GraphQL

Bahasa Pemrograman yang Wajib Dipelajari di 2025 dan Manfaatnya untuk Karier Anda

Front-End Testing: Perkenalan dengan Jest dan React Testing Library