Skalabilitas Database: Penjelasan Lengkap Horizontal vs Vertical Scaling Beserta Studi Kasus Nyata

Gambar: Adi Goldstein, "Database", Unsplash


Pendahuluan

Dalam era digital saat ini, aplikasi menghasilkan dan mengonsumsi data dalam jumlah yang sangat besar. Seiring pertumbuhan jumlah pengguna dan kompleksitas sistem, database harus mampu menangani lebih banyak permintaan, kueri, serta beban data tanpa mengorbankan performa. Di sinilah konsep scaling (skala) menjadi sangat penting.

Secara umum, terdapat dua pendekatan utama dalam scaling database, yaitu:

  • Vertical Scaling (Skala Vertikal)

  • Horizontal Scaling (Skala Horizontal)

Keduanya bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan menjaga ketersediaan sistem, tetapi memiliki pendekatan, biaya, dan tantangan yang sangat berbeda.

Dalam artikel ini, kamu akan belajar:

  • Apa itu vertical dan horizontal scaling

  • Kelebihan dan kekurangan masing-masing pendekatan

  • Studi kasus nyata di berbagai industri

  • Cara memilih strategi scaling yang tepat untuk aplikasimu

Apa Itu “Skalabilitas” dalam Database?

Scalability adalah kemampuan sistem untuk tangani beban lebih besar—baik jumlah data, frekuensi query, maupun kompleksitas operasional—tanpa mengorbankan kecepatan, konsistensi, atau uptime .

Ada dua pendekatan utama:

  • Vertical Scaling (Scale Up): upgrade kapasitas server tunggal (CPU, RAM, storage).

  • Horizontal Scaling (Scale Out): tambahkan lebih banyak server atau node untuk simpan dan proses data.


Vertical Scaling – Level Up, Simpel Tapi Terbatas

Kelebihan

Kekurangan

Studi Kasus: Reddit

Reddit meningkatkan database PostgreSQL hingga 256 GB RAM dan 32 core sebagai solusi vertical scaling hingga 2009 reddit.com+2thelinuxcode.com+2reddit.com+2. Strategi jitu saat trafik masih bisa diprediksi dan data model masih sederhana.


Horizontal Scaling – Tambah Server, Lebih Fleksibel

Kelebihan

Kekurangan

  • Lebih kompleks: butuh load balancing, partisi data, sinkronisasi .

  • Biaya management tinggi: lebih banyak server = investment operational en.wikipedia.org+15cloudzero.com+15reddit.com+15.

  • Konsistensi data butuh penanganan khusus, seperti sharding atau replikasi.

Studi Kasus: Netflix, Zoom, Figma

  • Netflix beralih ke microservices + sharding saat user meledak, dan Jepang merespon skala besarblog.heycoach.in.

  • Zoom saat pandemi: tambahkan node untuk handle jutaan pengguna video call docs.yugabyte.com.

  • Figma: dari Postgres monolitik → caching → read-replicas → custom sharding di RDS. “Near‑infinite scalability” mulai tercapai dari 2020 lalu reddit.com+2reddit.com+2reddit.com+2.

“Figma's journey … they navigated from a single Postgres database to … horizontally sharded solution atop RDS Postgres … minimized developer impact, avoided expensive backfills” reddit.com+2reddit.com+2reddit.com+2


Pertimbangan Memilih antara Horizontal dan Vertical

Menurut DigitalOcean, pertimbangan penting meliputi:

  1. Pola trafik: jika fluktuatif & puncak tiba-tiba → horizontal lebih fleksibel

  2. Efisiensi resource: beban tetap tinggi → vertical lebih murah

  3. Cost: vertical murah awal, horizontal lebih murah jangka panjang

  4. Arsitektur aplikasi: monolit → vertical; microservices → horizontal

  5. Downtime: toleransi dan kebutuhan minimum downtime penting digitalocean.com

  6. Pertumbuhan masa depan: jika fluktuatif → hybrid mungkin paling rasional .


Teknik Implementasi Horizontal Scaling

A. Sharding & Partitioning

Membagi tabel besar berdasarkan key, misalnya region, customer_id. Setiap shard disimpan di node berbeda .

B. Replikasi (Replication)

Copy database untuk read-heavy workloads. Primary untuk write, replicas untuk read .

C. Distributed SQL DBMS

Sistem seperti YugabyteDB, TiDB, CockroachDB mendukung horizontal scaling transparan reddit.com+4docs.yugabyte.com+4pingcap.com+4.

D. Shared-nothing Arsitektur

Komponen database bekerja independen, tidak ada shared memory/storage dbwatch.com.


Hybrid Approach – yang Terbaik dari Dua Dunia

Kolaborasi vertical + horizontal adalah strategi optimal:

  • Scale up ke tertentu lalu scale out

  • Gunakan vertical saat database kecil/mudah

  • Add shards saat kebutuhan melonjak

Figma mencontoh-kan: gunakan vertical+partition+parallel shard → sistem yang lebih stabil dan efisien.


Tantangan & Solusi

  1. Biaya & kompleksitas → gunakan managed services (Citus, Yugabyte)

  2. Konsistensi → gunakan distributed transactions atau eventual consistency sesuai use-case

  3. Backup & recovery → pastikan snapshot shard & redo are consistent

  4. Kontrol performa → monitoring per-node, auto‑balancing partition


Bagaimana Memilih Strategi Scaling yang Tepat?

Berikut beberapa faktor penentu pemilihan strategi scaling:

1. Jenis Aplikasi

Jenis AplikasiSkala yang Disarankan
Aplikasi monolitik/legacyVertical Scaling
Aplikasi microservicesHorizontal Scaling
Aplikasi real-time (game, chat)Hybrid

2. Jenis Database

  • Relasional (SQL) → Cocok untuk vertical scaling.

  • NoSQL / Cloud-native → Cocok untuk horizontal scaling.

3. Kapasitas Tim Teknologi

  • Horizontal scaling butuh pemahaman:

    • Distributed system

    • Infrastruktur cloud

    • Monitoring & auto-scaling

Vertical scaling lebih cocok untuk tim kecil.

4. Proyeksi Pertumbuhan

  • Pertumbuhan jangka pendek → Vertical scaling lebih cepat.

  • Pertumbuhan jangka panjang → Horizontal scaling lebih fleksibel.


Perbandingan Biaya

Vertical Scaling

  • Biaya awal lebih murah, tetapi upgrade besar mahal.

  • Potensi downtime saat upgrade.

  • Pengelolaan lebih mudah (satu server).

Horizontal Scaling

  • Biaya awal tinggi (setup, orchestration, monitoring).

  • Lebih hemat dalam jangka panjang, apalagi di cloud.

  • Fleksibel dengan sistem pay-as-you-go (misalnya AWS, GCP).


Tools Populer untuk Scaling

Vertical Scaling

  • Amazon RDS / Aurora

  • Google Cloud SQL

  • Microsoft Azure SQL

  • DigitalOcean Droplets

Horizontal Scaling

  • MongoDB Atlas

  • CockroachDB

  • Apache Cassandra

  • Vitess (untuk MySQL)

  • Google Spanner

  • Kubernetes + StatefulSets


Praktik Terbaik dalam Scaling Database

Berikut tips penting agar scaling berjalan optimal:

1. Monitoring Sejak Awal

Gunakan tools seperti:

  • Prometheus & Grafana

  • New Relic

  • Datadog

  • CloudWatch (AWS)

Pantau: penggunaan CPU, memori, waktu kueri, I/O disk, koneksi aktif.

2. Desain Database dengan Skala dalam Pikiran

  • Gunakan indexing yang efisien.

  • Rancang struktur data sejak awal untuk kebutuhan scaling.

  • Pertimbangkan sharding atau partitioning.

3. Backup dan Replikasi

  • Backup rutin, terutama saat scaling vertikal.

  • Replikasi otomatis untuk horizontal scaling.

4. Keamanan

  • Batasi akses database.

  • Gunakan enkripsi, VPN, atau firewall.

  • Patch dan update software secara berkala.


Ringkasan: Mana yang Lebih Baik?

Jawaban tergantung pada kebutuhan aplikasimu.

KriteriaVertical ScalingHorizontal Scaling
Kemudahan✅ Lebih mudah❌ Lebih rumit
Biaya awal✅ Lebih rendah❌ Lebih tinggi
Pertumbuhan jangka panjang❌ Terbatas✅ Fleksibel
Ketersediaan (uptime)❌ Rentan gagal✅ High availability
Kompleksitas✅ Sederhana❌ Kompleks

Idealnya, banyak perusahaan saat ini memilih kombinasi keduanya (hybrid), mulai dari vertical scaling lalu berpindah ke horizontal saat sistem tumbuh besar.


Strategi Migrasi: Dari Vertical ke Horizontal Scaling

Banyak startup dan perusahaan menengah memulai dengan vertical scaling karena alasan praktis: lebih cepat, murah, dan mudah diatur. Namun, ketika bisnis tumbuh dan pengguna semakin banyak, migrasi ke horizontal scaling menjadi keharusan.

Berikut adalah langkah-langkah umum dalam strategi migrasi:

1. Evaluasi Beban dan Bottleneck

Langkah pertama adalah memahami di mana letak bottleneck sistem kamu:

  • Apakah bottleneck-nya ada di query lambat?

  • Apakah jumlah koneksi yang terlalu tinggi?

  • Apakah latency naik saat traffic meningkat?

Gunakan tools seperti EXPLAIN ANALYZEslow query logs, dan monitoring APM untuk mengidentifikasi titik masalah.

2. Pemisahan Beban Kerja (Workload Separation)

Mulailah dengan memisahkan beban kerja:

  • Database untuk penulisan (write) dan pembacaan (read) bisa dipisah.

  • Implementasi read replicas sangat membantu di tahap awal horizontal scaling.

3. Implementasi Caching

Sebelum benar-benar berpindah ke arsitektur terdistribusi, implementasikan caching:

  • Gunakan Redis atau Memcached untuk menyimpan hasil kueri yang sering diakses.

  • Mengurangi beban langsung pada database.

4. Penerapan Sharding

Setelah pembacaan dan penulisan dipisahkan, kamu bisa mulai menerapkan sharding.

Contoh strategi sharding:

  • Berdasarkan user ID (misalnya user ID genap di shard 1, ganjil di shard 2).

  • Berdasarkan wilayah (misalnya shard Indonesia, shard Asia Tenggara, dll).

  • Berdasarkan jenis data (misalnya transaksi di shard A, notifikasi di shard B).

5. Refactor Aplikasi

Horizontal scaling mengharuskan aplikasi kamu mengenali lokasi data (routing ke shard yang benar).

Ini bisa dilakukan dengan:

  • Middleware sharding-aware

  • Load balancer pintar

  • Custom ORM

6. Orkestrasi dan Monitoring

Gunakan tools seperti:

  • Kubernetes untuk mengatur node database

  • Prometheus + Grafana untuk visualisasi metrik

  • Elastic Stack (ELK) untuk logging terpusat

Migrasi bukan hanya soal performa, tetapi juga soal visibilitas dan kontrol penuh terhadap sistem.


Studi Kasus Migrasi: Startup Fintech Menuju Horizontal Scaling

Latar Belakang:

Sebuah startup fintech di Indonesia yang fokus pada pinjaman mikro memulai perjalanannya dengan satu server PostgreSQL di DigitalOcean. Dalam 6 bulan pertama, mereka melayani sekitar 20.000 pengguna.

Namun setelah mendapat pendanaan seri A, jumlah pengguna melonjak menjadi 1 juta dalam waktu kurang dari setahun.

Tantangan:

  • Query lambat saat traffic tinggi

  • Backup butuh waktu berjam-jam

  • Downtime meningkat karena server kehabisan memori

Solusi:

  1. Menerapkan read replicas untuk laporan keuangan.

  2. Migrasi ke AWS RDS untuk manajemen otomatis.

  3. Sharding berdasarkan wilayah (Pulau Jawa, Luar Jawa).

  4. Pemisahan workload: layanan pengguna, transaksi, dan notifikasi dibuat terpisah.

Hasil:

  • Latency turun 40%

  • Downtime mendekati nol

  • Sistem mampu menangani 2 juta+ pengguna dengan stabil


Risiko Scaling yang Perlu Dihindari

Scaling bukan tanpa risiko. Berikut beberapa kesalahan umum yang bisa merusak sistem jika tidak diantisipasi:

1Over-engineering Terlalu Awal

Banyak developer terlalu cepat mengadopsi arsitektur kompleks padahal beban sistem masih ringan. Ini bisa:

  • Memboroskan sumber daya (uang dan waktu)

  • Menambah beban tim kecil

  • Meningkatkan titik kegagalan

Solusi: Mulai sederhana, dan skalakan saat ada kebutuhan riil.

2. Sharding yang Tidak Direncanakan

Salah memilih key untuk sharding bisa membuat data jadi tidak seimbang (skewed), dan mempersulit migrasi di masa depan.

Contoh:

  • Jika membagi data berdasarkan user ID tapi sebagian besar user aktif hanya di shard tertentu → beban tidak merata.

Solusi: Gunakan analisis data riil untuk memilih key sharding yang adil dan scalable.

3. Mengabaikan Backup dan Replikasi

Scaling sering membuat orang lupa hal fundamental: backup. Dalam sistem terdistribusi, backup lebih kompleks dan rentan.

Solusi: Automasi backup dan pastikan bisa diuji melalui proses restore.


Horizontal Scaling di Era Microservices

Microservices memecah aplikasi menjadi komponen-komponen kecil yang dapat diskalakan secara independen. Di konteks ini, horizontal scaling adalah tulang punggungnya.

Contoh: Layanan Order dan Inventori

Dalam platform e-commerce:

  • Layanan order bisa memiliki database sendiri yang diskalakan terpisah.

  • Layanan inventori bisa menggunakan database NoSQL seperti DynamoDB yang mudah di-scale.

Keuntungan:

  • Setiap layanan tumbuh sesuai kebutuhannya.

  • Gangguan pada satu layanan tidak memengaruhi lainnya.


Scaling di Cloud vs On-Premises

On-Premises:

  • Lebih cocok untuk sistem legacy atau instansi dengan regulasi ketat.

  • Butuh hardware fisik dan tim operasional.

  • Vertical scaling lebih umum.

Cloud:

  • Mendukung autoscaling otomatis.

  • Horizontal scaling jauh lebih mudah dengan container dan orchestration.

  • Platform seperti AWS, GCP, Azure punya tool native untuk database scaling.


Benchmark: Kapan Harus Scaling?

Gunakan indikator ini untuk menentukan kapan waktunya scaling:

IndikatorTindakan
Latency > 300ms saat puncakPertimbangkan read replica
CPU > 80% terus-menerusVertical scaling / re-architecture
Koneksi DB maksimal tercapaiHorizontal scaling (sharding)
Backup > 1 jamGunakan snapshot dan replikasi

 Tips Praktis untuk Tim Developer

  1. Gunakan ORM yang mendukung scaling

    • Contoh: Sequelize (Node.js), Prisma, SQLAlchemy

  2. Dokumentasikan arsitektur scaling

    • Jangan hanya ada di kepala CTO atau DevOps

  3. Latih tim tentang distributed system

    • Scaling horizontal menuntut pemahaman replikasi, CAP theorem, quorum, dsb.

  4. Gunakan versi database terbaru

    • Banyak optimasi performa hanya tersedia di versi terbaru (contoh: parallel query PostgreSQL).


Tren Masa Depan dalam Database Scaling

1. Serverless Database

  • Contoh: Amazon Aurora ServerlessGoogle Cloud Spanner

  • Otomatis scale up/down berdasarkan permintaan

2. AI-Driven Autoscaling

  • Sistem AI memprediksi lonjakan trafik dan melakukan scaling proaktif.

3. Distributed SQL

  • Database seperti CockroachDB dan YugabyteDB menggabungkan kelebihan SQL + horizontal scalability.

4. Multi-Region Scaling

  • Banyak perusahaan besar kini menyebarkan database di berbagai wilayah untuk redundansi dan latency rendah.

Evolusi Peran dan Tantangan yang Akan Datang

Seiring berkembangnya teknologi, peran Data Analyst dan Data Engineer juga mengalami transformasi. Saat ini, banyak perusahaan mulai mengadopsi pendekatan DataOps — sebuah metodologi yang menggabungkan praktik DevOps ke dalam siklus hidup data. Dalam pendekatan ini, kolaborasi antar peran menjadi semakin penting, termasuk antara Data Engineer, Analyst, dan tim DevOps.

Selain itu, munculnya AI dan otomatisasi juga membawa tantangan baru. Misalnya, alat-alat seperti AutoML atau dashboard analitik otomatis mulai menggantikan sebagian tugas manual Data Analyst. Sementara di sisi lain, Data Engineer dituntut untuk mampu membangun sistem yang mampu mengelola streaming data secara real-time.

Namun, peran manusia tetap tidak tergantikan. Interpretasi data, pemahaman konteks bisnis, serta kreativitas dalam membangun pipeline data tetap menjadi kekuatan utama manusia dibandingkan mesin. Oleh karena itu, skill hybrid—menggabungkan pemahaman teknikal dan bisnis—akan menjadi nilai tambah di masa depan.

Menuju Masa Depan yang Kolaboratif dan Adaptif

Di era yang terus berubah ini, baik Data Analyst maupun Data Engineer harus memiliki kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi. Teknologi baru seperti data lakehouseedge computing, dan data governance berbasis AI mulai menjadi standar baru dalam manajemen data modern. Oleh karena itu, pemahaman lintas fungsi—antara teknik, analitik, dan kebijakan privasi data—semakin penting.

Kolaborasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Perusahaan yang mampu membentuk tim data yang solid, komunikatif, dan memiliki tujuan bersama akan memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan dalam pengambilan keputusan berbasis data. Inilah arah masa depan dunia data: terintegrasi, adaptif, dan terus berkembang.

Sumber Bacaan Lanjutan

Kesimpulan

  • Vertical scaling cocok untuk beban tetap, cepat, dan mudah. Namun ada batas hardware dan risiko single point of failure.

  • Horizontal scaling memberikan fleksibilitas, resiliensi, dan skalabilitas tinggi—namun lebih kompleks dan butuh strategi data terdistribusi.

  • Strategi hybrid menghadirkan solusi seimbang: mulai vertical, lalu sistematis expand secara horizontal.

Penerapan nyata dari Reddit, Netflix, Zoom, dan Figma membuktikan bahwa pilihan arsitektur yang bijak bisa meningkatkan performa dan ketahanan sistem secara signifikan.


Yuk, baca sekarang:
https://www.higosense.my.id/2025/05/skalabilitas-database-penjelasan.html

Comments

Popular posts from this blog

Mengintegrasikan Front-End dan Back-End dengan GraphQL

Bahasa Pemrograman yang Wajib Dipelajari di 2025 dan Manfaatnya untuk Karier Anda

Front-End Testing: Perkenalan dengan Jest dan React Testing Library